Angklung
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
- Untuk jenis orkestra bernama sama lihat Angklung (gamelan).
Angklung adalah
alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat ber
bahasa Sunda di
Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari
bambu,
dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan
badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun
kecil. Angklung terdaftar sebagai
Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari
UNESCO sejak November 2010.
Asal-usul
Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga
bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang
berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga
angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa
Kerajaan Sunda
(abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu,
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan
pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai
Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat
Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman
padi. Permainan angklung gubrag di
Jasinga,
Bogor,
adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan
untuk memikat
Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (
awi wulung) dan bambu putih (
awi temen).
Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk
bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa
kerajaan Sunda,
di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi
angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada
masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah
Hindia Belanda
sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat
membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak-
anak pada waktu itu.
[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap
Dewi Sri
tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari
batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah
struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan
permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan
dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang
sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi
iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada
1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke
Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak
1966,
Udjo Ngalagena
—tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan
laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana
bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Jenis Angklung
Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka
orang Baduy)
digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung
ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun),
terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis
tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa
ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya
hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar
tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan
berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan
lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan
dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di
buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain:
Lutung Kasarung,
Yandu Bibi,
Yandu Sala,
Ceuk Arileu,
Oray-orayan,
Dengdang,
Yari Gandang,
Oyong-oyong Bangkong,
Badan Kula,
Kokoloyoran,
Ayun-ayunan,
Pileuleuyan,
Gandrung Manggu,
Rujak Gadung,
Mulung Muncang,
Giler,
Ngaranggeong,
Aceukna,
Marengo,
Salak Sadapur,
Rangda Ngendong,
Celementre,
Keupat Reundang,
Papacangan, dan
Culadi Dengdang.
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug
ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi
lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan
gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan
hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam,
mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan;
tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan.
Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung,
ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama
bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk.
Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung
Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung
Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di
Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan
ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan
(Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa
membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang
mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung
di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah
Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung
tersebut.
Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat
Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat
Banten Kidul yang tersebar di sekitar
Gunung Halimun (berbatasan dengan
jakarta,
Bogor, dan
Lebak).
Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu
instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena
kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen
seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat
kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot
(sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan
karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama.
Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan
prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit
bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak
terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan
duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal
fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah
mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak,
perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan
dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah
angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar
dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap
instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam
orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya
Bale Agung,
Samping Hideung,
Oleng-oleng Papanganten,
Si Tunggul Kawung,
Adulilang, dan
Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg,
Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati
dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare
(mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan
angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa
Sanding, Kecamatan Malangbong,
Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah
Islam.
Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa
sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman
padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam
menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu
penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke
kerajaan Demak.
Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam.
Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan
kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung
roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung
anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek.
Teksnya menggunakan
bahasa Sunda yang bercampur dengan
bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula
bahasa Indonesia.
Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta
menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan
lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh
dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng:
Lailahaileloh,
Ya’ti,
Kasreng,
Yautike,
Lilimbungan,
Solaloh.
Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari,
Bandung).
Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang
berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan
sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya
pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau
kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya
fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis
berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat
penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah
penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan
mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung
dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang
tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak
diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu
cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung
indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1
angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit,
panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan
tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan
lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di
antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik,
Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula
lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain
angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas,
adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang
terdiri atas: Angklung Buncis (
Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/
Ciamis), Angklung Bungko (
Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (
Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (
Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun
1938.
Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda.
Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh
Daeng Sutigna alias Si Etjle (
1908—
1984) diubah nadanya menjadi
tangga nada
Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan
secara orkestra besar.
Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna
sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah
digunakannya laras nada
Diatonik
yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini
dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam
Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.
Sesuai dengan
Teori musik, angklung padaeng secara khusus dibuat menjadi dua jenis besar yakni:
- Angklung Melodi,
adalah angklung yang secara fisik terdiri atas dua tabung suara dengan
beda nada 1 oktaf. Pada satu unit angklung, umumnya ada:
- Angklung melodi kecil, terdiri atas 31 angklung.
- Angklung melodi besar, atau disebut juga bass-party, terdiri atas 11 angklung.
- Angklung akompanimen, adalah angklung yang digunakan sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada Harmoni. Tabung suaranya ada 3 atau 4, sesuai dengan Akord diatonis. Suatu unit angklung standar biasanya memiliki:
- Angklung akompanimen mayor sekaligus akord dominan septim, terdiri atas 12 buah angklung
- Angklung akompanimen minor, terdiri atas 12 buah angklung
Pak Daeng menggunakan angklung ciptaannya untuk melatih anak-anak
pandu (pramuka jaman dulu). Tidak heran kalau lagu-lagu yang dimainkan
mereka saat itu umumnya
lagu wajib.
Beberapa peninggalan aransemen asli Daeng Soetigna misalnya "Satu Nusa
Satu Bangsa", "Ibu Kita Kartini", atau "Wajib Belajar". Sekitar tahun
1980-an, KPA SMA 3 Bandung berdiri dengan perintis muda seperti Djoko,
Budi Supardiman, dan Asep Suhada. Mereka mulai mengaranseman angklung
padaeng untuk musik-musik modern Indonesia seperti "September Ceria" (
Vina Panduwinata), "Astaga" (
Ruth Sahanaya) dan "Gemilang" (
Krakatau (grup musik)), bahkan merambah ke musik manca negara mulai dari "Yesterday" (
Beatles), "Another Day in Paradise" (
Phil Collins), hingga "Bohemian Rhapsody" (
Queen).
Angklung Sarinande
Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya
memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit
kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do sampai Do Tinggi),
sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada sol rendah hingga mi
tinggi).
Aruba
Aruba adalah nama grup musik (band) yang pertama kali memperkenalkan
angklung solo, dimana satu unit angklung digantung pada suatu palang
sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada
diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi
nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Grup Aruba ini
berdiri dirintis oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan kemudian berubah nama
menjadi Arumba sekitar tahun 1969.
[1]
Arumba
Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble) yang minimal terdiri atas:
[2]
- Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
- Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
- Gambang bambu melodi
- Gambang bambu akompanimen
- Gendang
Konfigurasi awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh Mochamad Burhan
sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama grup "Arumba Cirebon"
[3].
Angklung Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Ujo sekitar tahun 2008.
[4]
Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung
dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya,
seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan
bergetar beberapa saat karena adanya karet.
Angklung Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung.
[5]
Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara
yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal).
Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide
sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung
secara simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung
akompanimen.
Teknik Permainan Angklung
Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang
rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga
angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan
kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik
dasar menggoyang angklung:
- Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai,
dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan
berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
- Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik
dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan
berbunyi sekali saja (stacato).
- Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabug
ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini
menyebabkan angklung mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja,
tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen
mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab
bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4
nada).
Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan
suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang
konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat angklung
dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan
partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus dimainkan.
Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus
memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang
diminta konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus
memperhatikan teknik
sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera setelah nada berikutnya mulai berbunyi.
Berlatih Angklung
Angklung akan terdengar merdu dan megah jika dimainkan beramai-ramai
dengan kompak. Untuk itu, diperlukan persiapan dan latihan yang cukup
panjang, dipimpin pelatih yang cukup punya pemahaman musik umum maupun
angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:
- Pilih lagu dengan aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan
angklung umumnya yang berirama riang, dan jika bisa ada bagian yang
rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan teknik centok. Lagu ini
kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung, dengan memiliki
beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis di kertas
yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
- Siapkan unit angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung,
bisa diketahui berapa angklung yang diperlukan berdasar rentang nada
lagu dan keseimbangan intonasinya.
- Kumpulkan pemain dan distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada
pemain yang memegang banyak angklung, harus diperhatikan agar si pemain
tersebut tidak akan pernah memainkan dua angklung pada saat bersamaan.
Untuk itu biasanya dipakai tabel tonjur.
- Pemanasan. Sebelum berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan
tangan, lalu lakukan gerakan-gerakan dasar untuk kurulung maupun centok
bersama-sama.
- Mempelajari lagu. Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu,
mana bait-bait dan chorus yang harus diulang. Perlahan-lahan mainkan
lagu ini dibawah pimpinan konduktor. Disarankan agar selama latihan awal
semua nada di-centok saja, jangan dikurulung dulu.
- Menghafal not. Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan bagian permainannya.
- Meningkatkan teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa
mulai memimpin dengan menekankan keserempakan permainan, dinamika,
maupun penjiwaan.
- Koreografi. Jika akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan
improvisasi agar para pemain melakukan gerakan yang menarik, tidak
berdiri kaku terus menerus.
Angklung Interaktif
Angklung interaktif adalah kegiatan dimana seorang konduktor mengajak
banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain angklung beramai-ramai.
Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat pariwisata atau acara ramah tamah.
Pada para peserta akan dibagikan angklung-angklung yang sudah diberi
nomor sesuai nadanya. Lalu, sang konduktor akan memimpin, biasanya
dengan cara:
- Konduktor membuka satu layar besar bertuliskan lagu dalam not angka,
lalu mengajak para peserta memainkan angklung yang tepat dengan
menunjuk nada pada layar.
- Konduktor mengajarkan isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada
penonton, kemudian memimpin suatu lagu dengan memberikan isyarat yang
tepat secara berurutan untuk diikuti para peserta.
Modernisasi Angklung
Secara esensial, angklung adalah alat musik bambu yang dimainkan
dengan digetar. Hal tersebut tidak boleh diubah. Meski demikian,
berbagai upaya kreatif untuk memodernisasinya terus berlangsung,
seperti:
- Angklung elektrik karya Agus Suhardiman [6]
- Angklung otomatis, Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya [7]
- Tra-digi, angklung robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim Ghozali. [8][9]
- Klungbot, robot angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama dan Karismanto Rahmadika [10], kemudian dilanjutkan oleh Eko Mursito Budi. [11]